Kamis, 23 November 2017

TAQDIR


Sering disampaikan di dalam kajian tentang bab iman tatkala masuk kedalam bahasan TAQDIR, bahwa masalah TAQDIR itu adalah masalah yang sulit, tidak semua orang bisa dengan cara yang mudah dan sederhana bisa memahaminya. Padahal jika memang persoalan TAQDIR itu adalah bagian dari petunjuk Allah yang diwahyukan kepada Rasulullah, maka tentu bukanlah hal yang sulit untuk difahami ummat Nya, karena Allah telah menjamin bahwa petunjuk Nya (Al-Qur’an) itu adalah mudah.

  
وَلَقَدۡ يَسَّرۡنَا ٱلۡقُرۡءَانَ لِلذِّكۡرِ فَهَلۡ مِن مُّدَّكِرٍ۬ 

dan Sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, Maka Adakah orang yang mengambil pelajaran  (QS Al-qomar, 54:17

Di dalam tulisan ini, insyaallah akan diuraikan tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang berkenaan dengan persoalan TAQDIR, sehingga akan bisa diperoleh rangkaian keterangan yang mudah untuk memahami persoalan TAQDIR ini, sebagaimana janji Allah dalam ayat di atas.


TAQDIR ada dalam setiap yang diciptakan ( kholaqo ) oleh Allah
  
إِنَّا كُلَّ شَىۡءٍ خَلَقۡنَـٰهُ بِقَدَرٍ۬ 

Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan taqdir ( QS Al-qomar, 54:49)

Allah menciptakan segala apa yang ada di alam semesta, yang dhohir (tampak) maupun yang ghoib (tidak tampak), bahkan termasuk gerak tubuh manusia yang merupakan sinkronisasi dari sejumlah saraf, jaringan tubuh dan otot dalam melakukan suatu perbuatan juga adalah termasuk ciptaan Allah.


   
Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu (QS Ash-shoffaat 37:96)

Lebih jauh tentang “mencipta” bagi Allah, maka jika dirujuk pada ayat di dalam Al-Qur’an yang digunakan untuk menyebutkan kalimat “mencipta” bagi Allah, setidaknya ada 5 aspek dalam “mencipta”, yaitu : ciptaan dalam hal adanya sesuatu dari yang semula tidak ada menjadi ada (kholqu), ciptaan dalam hal kegunaan atau fungsi  sesuatu (ja’ala), ciptaan dalam hal bentuk atau model sesuatu (bada-a), ciptaan dalam hal sistem atau hukum yang berlaku pada sesuatu (fathara), ciptaan dalam hal keterkaitan dengan ciptaan yang lainya (shona’a). Dan rujuk pada ayat Al-Qur’an di atas, maka seluruh aspek penciptaan itu semuanya diciptakan oleh Allah dengan TAQDIR.

Sebagai contoh adalah Matahari yang juga merupakan ciptaan Allah, maka adanya Matahari itu dari yang sebelumnya tidak ada adalah aspek khalqu, kemudian Matahari itu salah satunya adalah berguna untuk menerangi maka kegunaan untuk menerangi itu adalah aspek ja’ala, dan bentuk atau model wujud Matahari yang berupa bulatan dari gumpalan gas itu adalah aspek bada-a, sedangkan adanya hukum atau sistem yang bekerja di dalam tubuh Matahari diantaranya berupa ledakan inti atom yang terjadi secara teratur dan lain-lain peristiwa yang terjadi di dalamnya maka ini adalah aspek fathara, kemudian adalah tentang hubungan antara Matahari dengan ciptaan Allah yang lain seperti bumi, planet-planet, dll itu adalah aspek shana’a. Maka dalam hal makhluk yang bernama Matahari itu, baik aspek kholqu, ja’ala, bada-a, fathara dan shana’a , semuanya itu adalah ciptaan Allah yang diciptakan dengan TAQDIR.
   
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa segala sesuatu itu diciptakan oleh Allah dengan TAQDIR, dan sesuai dengan keterangan dalam Al-Qur’an ternyata dalam hal menetapkan TAQDIR segala sesuatu itu Allah tidak semena-mena (tidak ngawur), tetapi melakukanya dengan penuh perhitungan dan kecermatan yang ilmiyyah. Sebagaimana tersebut di dalam salah satu ayat Al-qur’an yang menyebutkan bahwa asal dari segala sesuatu itu adalah “khozain” dan “khozain” itu adalah milik Allah semata. Kemudian tatkala Allah hendak mencipta sesuatu maka Allah akan menurunkan “khozain” milik Nya itu dengan ukuran/takaran (qodar) yang cermat (ma’luum)

bÎ)ur `ÏiB >äóÓx« žwÎ) $tRyYÏã ¼çmãYͬ!#tyz $tBur ÿ¼ã&è!Íit\çR žwÎ) 9ys)Î/ 5Qqè=÷è¨B ÇËÊÈ  
dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu. (QS Al-hijr, 15:21)

( “khozain” adalah istilah dalam Al-Qur’an yang dalam hal ini cukup diketahui saja bahwa “khozain” itu milik Allah dan “khozain” itu merupakan asal dari segala sesuatu yang diturunkan oleh Allah pada setiap ciptaan Nya, atau dengan kata lain bahwa setiap ciptaan Allah selalu mengandung  “khozain” yang telah ditetapkan oleh Allah dengan Taqdir yang cermat  berapa kadar “khozain” untuk setiap  ciptaanNya  )


TAQDIR itu berkaitan dengan ilmu Allah


ª!$# Ï%©!$# t,n=y{ yìö6y ;Nºuq»oÿxœ z`ÏBur ÇÚöF{$# £`ßgn=÷WÏB ãA¨t\tGtƒ âöDF{$# £`åks]÷t/ (#þqçHs>÷ètFÏ9 ¨br& ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« ֍ƒÏs% ¨br&ur ©!$# ôs% xÞ%tnr& Èe@ä3Î/ >äóÓx« $RHø>Ïã ÇÊËÈ  
Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. perintah Allah Berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan Sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu (QS At-tholaaq, 65:12)

Pada penjelasan sebelumnya telah diuraikan bahwa segala sesuatu itu diciptakan oleh Allah dengan TAQDIR, dan pada ayat di atas Al-Qur’an memberikan keterangan bahwa segala sesuatu itu diliputi oleh Allah dengan ilmu. Jadi karena dalam mencipta Allah tidak ngawur, bahkan Allah senantiasa meramu “khozain” miliknya dengan TAQDIR yang ilmiyyah ( qodarin ma’luum ) tatkala menciptakan segala sesuatu, maka Allah nyatakan bahwa pada setiap ciptaan Nya itu sarat dengan perkara keilmuan. Oleh karena itu maka adanya TAQDIR dalam setiap penciptaan mengisyaratkan adanya ILMU dalam setiap ciptaan. Maka dengan demikian setiap ciptaan Allah itu bisa dipelajari, atau dalam bahasa Al-qur’an mengandung petunjuk (hudan), sebagaimana disebutkan dalam ayat sbb :

ËxÎm7y zOó$# y7În/u n?ôãF{$# ÇÊÈ   Ï%©!$# t,n=y{ 3§q|¡sù ÇËÈ   Ï%©!$#ur u£s% 3yygsù ÇÌÈ     
sucikanlah nama Tuhanmu yang Maha Tingi, yang Menciptakan, dan menyempurnakan,  dan yang me-taqdir-kan (segala sesuatu) sehingga (sesuatu itu mengandung) petunjuk (QS Al-A’laa 87:1-3)

Lebih lanjut Al-Qur’an memberikan keterangan yang lebih jelas mengenai persoalan  TAQDIR dan ILMU ini, sebagaimana disebutkan di dalam ayat berikut:

uqèd Ï%©!$# Ÿ@yèy_ š[ôJ¤±9$# [ä!$uÅÊ tyJs)ø9$#ur #YqçR ¼çnu£s%ur tAÎ$oYtB (#qßJn=÷ètFÏ9 yŠytã tûüÏZÅb¡9$# z>$|¡Åsø9$#ur 4 $tB t,n=y{ ª!$# šÏ9ºsŒ žwÎ) Èd,ysø9$$Î/ 4 ã@Å_ÁxÿムÏM»tƒFy$# 5Qöqs)Ï9 tbqßJn=ôètƒ ÇÎÈ  
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan di-taqdir-kan Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui (QS Yunus, 10:5)

Dalam ayat di atas disebutkan bahwa dengan adanya TAQDIR Allah pada peredaran matahari dan bulan, maka manusia bisa mendapatkan petunjuk berupa ilmu untuk mengetahui perhitungan waktu, tentunya setelah manusia mau mengamati dan mempelajari peredaran matahari dan bulan. Dan karena keterbatasan manusia dalam melakukan pengamatan ( belum seluruh aspek peredaran itu bisa diamati oleh manusia ) maka tentu pengetahuan yang diperoleh manusia yang dikatakan oleh manusia sebagai ilmu itu tidaklah selengkap dan sesempurna ilmu Allah yang meliputi peredaran matahari dan bulan itu.   

Dalam ayat yang lainya disebutkan sbb :

žcÎ) Îû È,ù=yz ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur É#»n=ÏF÷z$#ur È@øŠ©9$# Í$pk¨]9$#ur ;M»tƒUy Í<'rT[{ É=»t6ø9F{$# ÇÊÒÉÈ   tûïÏ%©!$# tbrãä.õtƒ ©!$# $VJ»uŠÏ% #YŠqãèè%ur 4n?tãur öNÎgÎ/qãZã_ tbr㍤6xÿtGtƒur Îû È,ù=yz ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur $uZ­/u $tB |Mø)n=yz #x»yd WxÏÜ»t/ y7oY»ysö6ß $oYÉ)sù z>#xtã Í$¨Z9$# ÇÊÒÊÈ      
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka. (QS Al-imron, 3:190-191)

Rujuk pada ayat di atas, maka dengan adanya TAQDIR dalam setiap ciptaan Allah segala apa yang ada di langit dan di bumi baik pada waktu siang ataupun malam semuanya itu bisa menjadi bahan kajian untuk difikirkan oleh orang yang memiliki akal (ulul albaab) sehingga menjadi pengetahuan  bagi  manusia.

Namun demikian, meskipun seluruh ciptaan Allah itu senantiasa diciptakan dengan TAQDIR dan diliputi dengan ILMU, lebih jauh Al-Qur’an mengingatkan adanya batasan bagi manusia dalam hal kajian dan penelitian atas segala ciptaan Allah tersebut, karena memang tidak semua hal bisa dipelajari atau boleh dipelajari oleh manusia, seperti dalam permasalahan “RUH”. Hal ini karena keterbatasan kemampuan pengetahuan yang diberikan oleh Allah kepada manusia, sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur’an :

štRqè=t«ó¡our Ç`tã Çyr9$# ( È@è% ßyr9$# ô`ÏB ̍øBr& În1u !$tBur OçFÏ?ré& z`ÏiB ÉOù=Ïèø9$# žwÎ) WxŠÎ=s% ÇÑÎÈ  
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".( QS Al-israa’, 17:85)

Demikian juga pengetahuan tentang kapan saat terjadinya hari qiyamat, hal ini juga merupakan persoalan yang tidak bisa dipelajari oleh manusia meskipun Allah juga telah menciptakanya dengan TAQDIR dan meliputinya dengan ILMU.

y7tRqè=t«ó¡o Ç`tã Ïptã$¡¡9$# tb$­ƒr& $yg8yóßD ( ö@è% $yJ¯RÎ) $ygãKù=Ïæ yZÏã În1u ( Ÿw $pkŽÏk=pgä !$pkÉJø%uqÏ9 žwÎ) uqèd 4 ô
mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: "Bilakah terjadinya?" Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. (QS Al-a’raaf, 7:187)

Dari semua uraian di atas, bisa difahami bahwa Al-Qur’an ternyata tidak memberikan wawasan mengenai TAQDIR sehingga seolah persoalan TAQDIR itu adalah sesuatu yang gelap gulita, yang  sulit dan tidak terjangkau akal dan tidak boleh di apa-apakan oleh manusia, sehingga seolah manusia hanya disuruh untuk mengimaninya dan menerima begitu saja dengan sikap sabar jika dirasa sebagai sesuatu yang buruk atau syukur jika dirasa sebagai sesuatu yang baik. Tetapi ternyata persoalan TAQDIR itu justru dijelaskan oleh AL-Qur’an sebagai sesuatu yang terang benderang dan malahan Al-Qur’an mendorong manusia agar TAQDIR yang ada pada setiap ciptaan Allah itu dipelajari sehingga manusia bisa mendapatkan pengetahuan tentang segala sesuatu dari ciptaan Allah tersebut dan bisa dimanfaatkan bagi kelangsungan hidupnya di dunia, meskipun Al-Qur’an juga memberikan batasan-batasan terhadap apa-apa yang memang tidak perlu dipelajari oleh manusia karena adanya keterbatasan pada diri manusia. Inilah kehebatan Al-Qur’an dalam memberikan keterangan mengenai TAQDIR, jelas dan mudah.
Oleh karena itu, dengan mempelajari TAQDIR dalam setiap ciptaan Allah, maka manusia akan bisa memahami mana TAQDIR yang bisa menyebabkan kebaikan bagi dirinya dan kehidupanya, yang  kadang lebih sering disebut dengan “TAQDIR baik” (khoir) atau yang bisa menyebabkan keburukan bagi dirinya dan kehidupanya, yang sering  disebut dengan “TAQDIR buruk” (syarrun).

Takdir terkait dengan Perbuatan Manusia

Di dalam Al-qur’an disebutkan bahwa perbuatan ( ‘amal ) manusia adalah juga termasuk ciptaan Allah
ª!$#ur ö/ä3s)n=s{ $tBur tbqè=yJ÷ès? ÇÒÏÈ  
Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu (QS Ash-shoffaat 37:96)

Sebagaimana penjelasan sebelumnya, karena perbuatan ( ‘amal ) manusia itu diciptakan oleh Allah, maka tentu diciptakan dengan TAQDIR dan juga diliputi dengan ILMU. Dengan demikian maka setiap perbuatan (‘amal ) manusia itu tentu bisa dipelajari sebagai suatu petunjuk. Tentu dengan segala keterbatasan kemampuan manusia dalam mengamati dan mengambil kesimpulan terhadap persoalan perbuatan ( ‘amal  ) ini.

Di dalam Al-qur’an, bahkan Allah memerintahkan kepada manusia agar melakukan pengamatan (intidhor) untuk mengetahui seluk beluk perbuatan (‘amal ) yang telah dilakukan oleh orang-orang terdahulu, agar manusia bisa mengambil pelajaran. Hal ini disebutkan di dalam ayat Al-Qur’an sbb :

3 óOn=sùr& (#r玍šo Îû ÇÚöF{$# (#rãÝàZuŠsù y#øx. šc%x. èpt7É)»tã tûïÏ%©!$# `ÏB óOÎgÏ=ö7s% 3 â 
Maka tidakkah mereka bepergian di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (QS Yusuf, 12:109)

ö@è% (#r玍ŠÎû ÇÚöF{$# ¢OèO (#rãÝàR$# y#øŸ2 šc%x. èpt6É)»tã tûüÎ/Éjs3ßJø9$# ÇÊÊÈ  
Katakanlah: "Berjalanlah di muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu." (QS Al-an’am, 6:11)


Perbuatan manusia, jika dicermati sesungguhnya setiap perbuatan itu tidaklah berdiri sendiri, namun senantiasa diawali dengan “kehendak” (irodah) yang kemudian terwujud sebagai “niyat”. Hal ini sebagaimana hadits Rasulullah sbb :

إنماالاعــــــمال بالنــيات

Sesungguhnya perbuatan (amal) itu dengan niyat (HR. Imam Bukhori)

Dalam hal “irodah” yang kemudian akan terwujud dalam bentuk “niyat” inilah Allah memberikan ruang bagi manusia untuk menentukan pilihan, sebagaimana di dalam lanjutan matan hadits di atas yang menyebutkan bahwa diantara pengikut Rasulullah yang berhijrah dari Makkah ke Madinah itu ternyata bermacam-macam niyat nya, ada yang memang berniyat untuk Allah dan RasulNya (lillaahi warasuulih), ada yang berniyat untuk dunianya (liddunya ), dan ada pula yang berniyat untuk menikahi wanita, maka “niyat” yang terwujud pada diri manusia itu bukanlah Allah yang mentukan, meskipun adanya “irodah” yang kemudian terwujud menjadi “niyat” dalam diri manusia itu adalah ciptaan  Allah yang tentunya juga diciptakan Allah dengan TAQDIR.

Memang tidak setiap sesuatu yang terkait dengan urusan manusia itu lalu serta merta menjadi pilihan yang bisa ditentukan oleh manusia sendiri. Sebagai contoh adalah berkurangnya kemampuan tubuh manusia untuk beraktifitas seiring dengan bertambahnya umur, maka keadaan tubuh manusia yang seperti itu bukan merupakan ruang pilihan bagi manusia. Namun begitu juga bukan tidak mungkin manusia melakukan pengamatan dan mempelajari TAQDIR Allah yang berlaku pada tubuh manusia, karena Allah meciptakan tubuh manusia itu juga dengan TAQDIR yang ilmiyyah ( qodarin ma’luum ) sehingga bisa dipelajari dan diketahui petunjuk tentang bagaimana menjaga kemampuan tubuh agar tetap bisa beraktifitas dengan optimal meskipun umur terus bertambah.

Lebih jelasnya mengenai persoalan adanya ruang pilihan bagi manusia berupa “irodah” manusia yang terwujud dalam “niyat” ini, Al-qur’an memberikan keterangan sbb :

uŽötósùr& Ç`ƒÏŠ «!$# šcqäóö7tƒ ÿ¼ã&s!ur zNn=ór& `tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÄßöF{$#ur $YãöqsÛ $\döŸ2ur Ïmøs9Î)ur šcqãèy_öãƒ ÇÑÌÈ  
Maka Apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, Padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan. (QS Al-Imron, 3:83)

Kata “aslama” dalam ayat di atas menunjukkan bahwa segala apa yang ada langit dan di bumi telah dicipta oleh Allah dengan TAQDIR dalam seluruh aspek penciptaanya, yaitu aspek keberadaanya (kholqu), fungsinya/kegunaannya (ja’ala), model/bentuknya (bada-a), sistem/hukumnya  (fathara) dan hubunganya dengan ciptaan Allah lainya (shana’a) itu semua suka tidak suka, mau tidak mau memang harus diterima oleh makhluk yang dalam ayat di atas disebut dengan istilah “thau’an wa karhan”. Jadi dalam hal TAQDIR penciptaan dengan seluruh aspek penciptaan itu maka seluruh makhluk hanya bisa pasrah, tunduk, menyerah ( aslama ) kepada penetapan TAQDIR, dan hanya kepada Allah lah TAQDIR dalam seluruh aspek penciptaan makhluk itu dikembalikan. Maksudnya adalah bahwa yang bisa menentukan TAQDIR dalam penciptaan itu hanyalah Allah. Tetapi dalam hal “dien” (agama), Allah memberikan ruang kepada manusia untuk menentukan pilihan masing-masing yang merupakan “kehendak” (irodah) manusia yang terwujud dalam “niyat”, apakah manusia akan memilih “dienullah” atau yang selain “dienullah”.  Di dalam ayat yang lain Al-Qur’an menjelasakan bahwa manusia tidak dipaksa dalam hal menentukan pilihan terhadap “dien” itu.
Iw on#tø.Î) Îû ÈûïÏe$!$# (
Tidak ada paksaan dalam (memilih) agama ( QS Al-baqoroh, 2:256)

Lebih lanjut mengenai hal ini, ternyata ruang pilihan bagi manusia ini juga berlaku dalam permasalahan “iman”, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an sbb :

öqs9ur uä!$x© y7/u z`tBUy `tB Îû ÇÚöF{$# öNßg=à2 $·èŠÏHsd 4 |MRr'sùr& çn̍õ3è? }¨$¨Z9$# 4Ó®Lym (#qçRqä3tƒ šúüÏZÏB÷sãB ÇÒÒÈ  
dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ? (QS Yunus, 10:99)

È@è%ur ,ysø9$# `ÏB óOä3În/§ ( `yJsù uä!$x© `ÏB÷sãù=sù ÆtBur uä!$x© öàÿõ3uù=sù 4  
dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir" (QS Kahfi, 18:29)

Jadi rujuk pada penjelasan Al-Qur’an, maka bisa difahami dengan mudah bahwa ternyata manusia itu diberi oleh Allah ruang pilihan dalam dirinya untuk menentukan pilihan masing-masing dalam hal “dien” dan “iman” , dengan kata lain manusia itu mempunyai “irodah” yang terwujud dalam “niyat” untuk menetapkan pilihan atas persoalan “dien” dan “iman” . Dan karena penerapan atau implementasi atas pilihan terhadap  “dien” dan “iman” itu adalah dalam aspek  perbuatan (amaliyah), baik amal  yang kasad mata ataupun amal yang tak kasad mata, maka terhadap bentuk amal manusia itu Allah bisa mengenali mana bentuk amal yang berada di atas jalan Nya dan yang tidak berada di atas jalan Nya.

ö@è% @@à2 ã@yJ÷ètƒ 4n?tã ¾ÏmÏFn=Ï.$x© öNä3š/tsù ãNn=÷ær& ô`yJÎ/ uqèd 3y÷dr& WxÎ6y ÇÑÍÈ  
 Katakanlah: "Tiap-tiap  (perbuatan)  yang diperbuat ( manusia ) itu menurut keadaannya masing-masing". Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalanNya. (QS AL-Isra’, 17:84)

Kata “syaakilat” adalah jama’ (plural ) dari kata “syaklun” yang dalam bahasa arab berarti “bentuk”. Jadi maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan manusia itu ada bentuk nya. Dan bentuk dari amal manusia itu bergantung pada “irodah” manusia yang terwujud dalam “niyat” terhadap permasalahan “dien”, dan “iman”. Hal inilah yang menjelaskan mengapa Allah memerintahkan manusia untuk melakukan pengamatan (intidhor) terhadap amaliyah orang-orang terdahulu dan memperhatikan bentuk serta akibat dari amaliyah yang benar sesuai dengan petunjuk Allah dan amaliyah yang menyimpang dari petunjuk Allah, sehingga manusia bisa memperoleh pengetahuan dan bisa menentukan pilihan yang baik bagi dirinya.

Allah memang tidak membiarkan manusia begitu saja dengan diberinya ruang pilihan tersebut, namun agar bisa melakukan pengamatan dan kemudian menentukan pilihan, maka manusia diberikan oleh Allah alat berupa pendengaran, penglihatan, dan fuad sebagaimana diterangkan di dalam Al-Qur’an sbb :

ª!$#ur Nä3y_t÷zr& .`ÏiB ÈbqäÜç/ öNä3ÏF»yg¨Bé& Ÿw šcqßJn=÷ès? $\«øx© Ÿ@yèy_ur ãNä3s9 yìôJ¡¡9$# t»|Áö/F{$#ur noyÏ«øùF{$#ur   öNä3ª=yès9 šcrãä3ô±s? ÇÐÑÈ  
dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. (QS An-Nahl, 16:78)

Dalam ayat di atas digunakan kata “ja’ala” yang merupakan aspek dalam penciptaan Allah, sehingga pendengaran, penglihatan, dan fuad itu tentunya adalah juga diciptakan oleh Allah dengan TAQDIR yang ilmiyyah ( qodarin ma’luum ) sehingga manusia juga bisa mempelajarinya guna mendapatkan pengetahuan dan petunjuk tentang alat tersebut. Di dalam ayat yang lain disebutkan tentang alat itu sbb :

¢OèO çm1§qy yxÿtRur ÏmŠÏù `ÏB ¾ÏmÏmr ( Ÿ@yèy_ur ãNä3s9 yìôJ¡¡9$# t»|Áö/F{$#ur noyÏ«øùF{$#ur 4 WxÎ=s% $¨B šcrãà6ô±n@ ÇÒÈ     
kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur (QS As-Sajdah, 32:9)


Selain diberi alat berupa pendengaran, penglihatan, dan fuad oleh Allah, ternyata Allah juga memberikan petunjuk ( hudan ) agar manusia mempunyai rujukan dalam cara menggunakan alat ciptaan Allah tersebut dan dalam menentukan pilihan dalam ruang “irodah” yang terwujud dalam “niyat” yang telah diberikan oleh Allah kepada manusia.

$¯RÎ) çm»uZ÷ƒyyd Ÿ@Î6¡¡9$# $¨BÎ) #[Ï.$x© $¨BÎ)ur #·qàÿx. ÇÌÈ  
Sesungguhnya Kami telah menunjukinya( memberi petunjuk) kepada  jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. (QS Al-Insaan, 76:3)

Dan dalam penjelasan yang lain Al-Qur’an menyebutkan bahwa petunjuk “hudan” dari Allah itu juga diturunkan oleh Allah dengan ILMU, bukan dengan semena-mena (ngawur). Tentu hal ini adalah agar petunjuk itu bisa dipelajari dan difahami oleh manusia sebagaimana dengan  TAQDIR yang ilmiyyah dalam setiap ciptaan Allah sehingga manusia bisa mempelajarinya agar mendapatkan pengetahuan.

Ç`Å3»©9 ª!$# ßpkôtƒ !$yJÎ/ tAtRr& šøs9Î) ( ¼ã&s!tRr& ¾ÏmÏJù=ÏèÎ/ ( èps3Í´¯»n=yJø9$#ur tbrßygô±o 4 4s"x.ur «!$$Î/ #´Íky­ ÇÊÏÏÈ  
Akan tetapi Allah mengakui Al Quran yang diturunkan-Nya kepadamu (bahwa) Allah menurunkannya dengan ilmu-Nya; dan malaikat-malaikat pun menjadi saksi (pula). cukuplah Allah yang mengakuinya. (QS An-Nisaa’, 4:166)

Dengan diciptakanya oleh Allah pendengaran, penglihatan dan fuad bagi manusia dan kemudian Allah turunkan petunjuk Nya kepada manusia, maka hal inilah yang dimaksud bahwa Allah telah menciptakan manusia sebagai “ahsani taqwiim”
ôs)s9 $uZø)n=y{ z`»|¡SM}$# þÎû Ç`|¡ômr& 5OƒÈqø)s? ÇÍÈ  
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya .(QS At-thien, 95:4)

Namun demikian, jika manusia tidak mau menggunakan alat yang telah Allah ciptakan bagi dirinya dan juga tidak mau menggunakan petunjuk Allah yang juga telah diturunkan bagi manusia, maka derajat manusia itu akan jatuh menjadi “asfala saafiliin” dan akan menjadi lebih hina dibandingkan binatang.

¢OèO çm»tR÷ŠyŠu Ÿ@xÿór& tû,Î#Ïÿ»y ÇÎÈ    
kemudian Kami kembalikan dia (manusia) ke tempat yang serendah-rendahnya (QS At-thien, 95:5)

ôs)s9ur $tRù&usŒ zO¨YygyfÏ9 #ZŽÏWŸ2 šÆÏiB Çd`Ågø:$# ħRM}$#ur ( öNçlm; Ò>qè=è% žw šcqßgs)øÿtƒ $pkÍ5 öNçlm;ur ×ûãüôãr& žw tbrçŽÅÇö7ム$pkÍ5 öNçlm;ur ×b#sŒ#uä žw tbqãèuKó¡o !$pkÍ5 4 y7Í´¯»s9'ré& ÉO»yè÷RF{$%x. ö@t/ öNèd @|Êr& 4 y7Í´¯»s9'ré& ãNèd šcqè=Ïÿ»tóø9$# ÇÊÐÒÈ  
dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai. (QS Al-A’raaf, 7:179)

( dalam ayat ini Al-qur’an menggunakan istilah “quluubun” yang merupakan bentuk jama’ dari kata “qolb”  yang dalam bahasa arab mempunyai padanan makna dengan “fuad” ataudalam bentuk jama’ adalah  “af-idah”,  atau dengan kata lai, “qolb” adalah dzatnya, sedangkan “fuad” adalah kegunaan atau fungsi atau kinerja daripada “qolb” )

Oleh karena itu, dengan diberikanya ruang “irodah” yang kemudian terwujud dalam “niyat”  bagi manusia, dan kemudian diciptakan oleh Allah alat bagi manusia berupa pendengaran, penglihatan, dan fuad ( atau juga disebut dengan qolb ) serta diberikan juga petunjuk ( hudan ) yang diturunkan oleh Allah dengan ilmu Nya, maka sebagai bentuk konsekuensi, manusia akan dimintai pertanggungan jawab oleh Allah atas “irodah” yang ada ada dirinya tsb.

¼çm¯RÎ)ur ֍ø.Ï%s! y7©9 y7ÏBöqs)Ï9ur ( t$ôqyur tbqè=t«ó¡è? ÇÍÍÈ  
dan Sesungguhnya Al Quran itu benar-benar adalah suatu kemuliaan besar bagimu dan bagi kaummu dan kelak kamu akan diminta pertanggungan jawab. (QS Az-zukruf, 43:44)

Ÿwur ß#ø)s? $tB }§øŠs9 y7s9 ¾ÏmÎ/ íOù=Ïæ 4 ¨bÎ) yìôJ¡¡9$# uŽ|Çt7ø9$#ur yŠ#xsàÿø9$#ur @ä. y7Í´¯»s9'ré& tb%x. çm÷Ytã Zwqä«ó¡tB ÇÌÏÈ  
dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.
(QS AL-Isra’, 17:36)


Jadi TAQDIR ada pada segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah, termasuk juga TAQDIR dalam perbuatan manusia yang juga adalah ciptaan Allah. Seluruh TAQDIR itu bisa dipelajari oleh manusia termasuk TQDIR dalam perbuatan manusia, sehingga dengan demikian manusia bisa mendapatkan pengetahuan mana TAQDIR yang baik dan mana TAQDIR yang buruk. Dan manusia diberikan “irodah” oleh Allah untuk menentukan pilihanya yang terwujud dalam “niyat”. Dan ingat bahwa “irodah” pemberian Allah ini HANYA UNTUK MEMILIH SAJA, karena setelah manusia menentukan pilihannya maka seluruh proses yang terjadi selanjutnya sebagai bentuk konsekuensi dari pilihan tersebut kesemuanya adalah TAQDIR Allah, entah itu menjadi sesuatu yang baik bagi dirinya atau menjadi sesuatu yang buruk. Hal inilah yang disitir dalam salah satu hadits Rasulullah sbb :

نيــة المؤمــــن خيرمن عـــمله

Niyat seorang mukmin itu lebih (penting) baik daripada perbuatanya (HR. AL-Baihaqi dan Ar-Rabii)

Karena “niyat” itulah yang merupakan ejawantah/wujud dari “irodah” manusia dan yang akan mempengaruhi bentuk perbuatan manusia yang kelak akan dimintai pertanggungan jawab oleh Allah.
Mengenai “irodah” manusia yang terwujud dalam “niyat”, maka sesungguhnya setiap saat secara berkesinambungan sepanjang manusia melakukan suatu bentuk perbuatan (amaliyah) dalam hidupnya, manusia harus selalu menetapkan “irodah” yang terwujud dalam “niyat”. Jadi proses berwujudnya perbuatan manusia itu adalah merupakan rangkaian siklus yang berkesinambungan dan terus menerus antara pilihan dalam ruang “irodah” yang kemudian terwujud dalam “niyat” dan selanjutnya diikuti dengan bentuk amal berupa gerakan tubuh atau ucapan. Begitu seterusnya.

Oleh karena itu, meskipun sesungguhnya perbuatan manusia itu adalah ciptaan Allah, tetapi karena bentuk perbuatan itu adalah bergantung pada pilihan “irodah” manusia yang terwujud dalam “niyat”, maka tepatlah jikalau kemudian Allah akan meminta pertanggungan jawab atas apa yang diperbuat oleh manusia.

  
dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang menghendaki dan memberi petunjuk kepada siapa yang menghendaki. dan Sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan. (QS An-Nahl, 16:93)


Sebagai ilustrasi dari penjelasan mengenai TAQDIR seperti dalam uraian di atas, Al-Qur’an memberikan penjelasan sbb  :

أَيۡنَمَا تَكُونُواْ يُدۡرِككُّمُ ٱلۡمَوۡتُ وَلَوۡ كُنتُمۡ فِى بُرُوجٍ۬ مُّشَيَّدَةٍ۬‌ۗ وَإِن تُصِبۡهُمۡ حَسَنَةٌ۬ يَقُولُواْ هَـٰذِهِۦ مِنۡ عِندِ ٱللَّهِ‌ۖ وَإِن تُصِبۡهُمۡ سَيِّئَةٌ۬ يَقُولُواْ هَـٰذِهِۦ مِنۡ عِندِكَ‌ۚ قُلۡ كُلٌّ۬ مِّنۡ عِندِ ٱللَّهِ‌ۖ فَمَالِ هَـٰٓؤُلَآءِ ٱلۡقَوۡمِ لَا يَكَادُونَ يَفۡقَهُونَ حَدِيثً۬ا (٧٨) مَّآ أَصَابَكَ مِنۡ حَسَنَةٍ۬ فَمِنَ ٱللَّهِ‌ۖ وَمَآ أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ۬ فَمِن نَّفۡسِكَ‌ۚ وَأَرۡسَلۡنَـٰكَ لِلنَّاسِ رَسُولاً۬‌ۚ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ شَہِيدً۬ا (٧٩)
   
di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, Kendatipun kamu di dalam benteng yang Tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)". Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah". Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) Hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?
79. apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, Maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. dan cukuplah Allah menjadi saksi. (QS An-Nisaa, 4:78-79)


Dalam ayat 78 surat An-Nisaa di atas, Al-Qur’an menyebutkan bahwa setiap  “kebaikan” (hasanah) dan “bencana” (sayyiah) yang menimpa kepada manusia adalah kepunyaan Allah ( min ‘indillah ). Hal ini tentu benar karena segala apa yang ada dan terjadi di alam semesta ini adalah ciptaan Allah yang diciptakan dengan TAQDIR, yang karena itu tentunya bisa dipelajari oleh manusia untuk mendapatkan pengetahuan sepanjang ciptaan Allah itu memang boleh dan bisa dipelajari oleh manusia, dan sepanjang manusia mampu untuk menggali TAQDIR dalam ciptaan Allah itu. Oleh karenanya maka setiap “kebaikan” (hasanah) dan “bencana” (sayyiah) yang terjadi bisa dipelajari oleh manusia, dan bahkan hal ini diperintahkan oleh Allah untuk mengamatinya (intidhor).
Sedangkan dalam ayat ke 79, Allah menerangkan tentang penyebab atau jalan yang membawa manusia kepada suatu keadaan yang berupa “kebaikan” (hasanah) dan “bencana” (sayyiah). Ketika manusia senantiasa menetapkan “irodah” yang benar dalam setiap tahapan proses yang dilaluinya, maka seluruh kebenaran yang menjadi pengetahuan bagi manusia yang dijadikan rujukan dalam setiap kali menetapkan “irodah” nya, maka semua kebenaran itu adalah milik Allah. (misalnya seperti “dien” yang  benar adalah “dien” milik Allah, “iman” yang benar adalah “iman” yang aturanya dimiliki & dibuat oleh Allah, dst). Sedangkan ketika manusia keliru dalam merumuskan apa yang mereka pelajari dari TAQDIR yang ada dalam setiap ciptaan Allah karena adanya keterbatasan dalam dirinya yang memang diciptakan demikian oleh Allah (QS 4:28, QS 33:72), lalu rumusan yang keliru itu mereka jadikan rujukan setiap kali menetapkan “irodah” nya dan mereka menolak mengikuti “Petunjuk (hudan)” yang telah Allah turunkan dengan ILMU-Nya dan justru menjadikan hal yang datang dari selain Allah sebagai petunjuk yang tentu saja keliru, maka tentu semua kekeliruan itu bukanlah dari Allah, tetapi dari manusia itu sendiri. 
Maka  tepatlah ketika Al-Qur’an mengatakan sbb :

وَمَآ أَصَـٰبَڪُم مِّن مُّصِيبَةٍ۬ فَبِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِيكُمۡ وَيَعۡفُواْ عَن كَثِيرٍ۬   
dan apa saja musibah yang menimpa kamu Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu) (QS Asy-syuura, 42:30)


Wallaahu a’lam bi ash-showaab….…