Sering
disampaikan di dalam kajian tentang bab iman tatkala masuk kedalam bahasan TAQDIR,
bahwa masalah TAQDIR itu adalah masalah yang sulit, tidak semua orang bisa
dengan cara yang mudah dan sederhana bisa memahaminya. Padahal jika memang
persoalan TAQDIR itu adalah bagian dari petunjuk Allah yang diwahyukan kepada
Rasulullah, maka tentu bukanlah hal yang sulit untuk difahami ummat Nya, karena
Allah telah menjamin bahwa petunjuk Nya (Al-Qur’an) itu adalah mudah.
وَلَقَدۡ يَسَّرۡنَا ٱلۡقُرۡءَانَ لِلذِّكۡرِ فَهَلۡ مِن مُّدَّكِرٍ۬
dan Sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran untuk
pelajaran, Maka Adakah orang yang mengambil pelajaran (QS Al-qomar, 54:17
Di
dalam tulisan ini, insyaallah akan
diuraikan tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang berkenaan dengan persoalan TAQDIR,
sehingga akan bisa
diperoleh rangkaian keterangan yang mudah untuk memahami persoalan TAQDIR ini,
sebagaimana janji Allah dalam ayat di atas.
TAQDIR ada dalam setiap
yang diciptakan ( kholaqo ) oleh Allah
إِنَّا كُلَّ شَىۡءٍ خَلَقۡنَـٰهُ بِقَدَرٍ۬
Sesungguhnya Kami menciptakan segala
sesuatu dengan taqdir ( QS Al-qomar, 54:49)
Allah
menciptakan segala apa yang ada di alam semesta, yang dhohir (tampak) maupun yang ghoib
(tidak tampak), bahkan termasuk gerak tubuh manusia yang merupakan sinkronisasi
dari sejumlah saraf, jaringan tubuh dan otot dalam melakukan suatu perbuatan
juga adalah termasuk ciptaan Allah.
Padahal Allah-lah yang menciptakan
kamu dan apa yang kamu perbuat itu (QS Ash-shoffaat 37:96)
Lebih
jauh tentang “mencipta” bagi Allah, maka jika dirujuk pada ayat di dalam Al-Qur’an
yang digunakan untuk menyebutkan kalimat “mencipta” bagi Allah, setidaknya ada
5 aspek dalam “mencipta”, yaitu : ciptaan dalam hal adanya sesuatu dari yang
semula tidak ada menjadi ada (kholqu),
ciptaan dalam hal kegunaan atau fungsi sesuatu (ja’ala),
ciptaan dalam hal bentuk atau model sesuatu (bada-a), ciptaan dalam hal sistem atau hukum yang berlaku pada
sesuatu (fathara), ciptaan dalam hal
keterkaitan dengan ciptaan yang lainya (shona’a).
Dan rujuk pada ayat Al-Qur’an di atas, maka seluruh aspek penciptaan itu
semuanya diciptakan oleh Allah dengan TAQDIR.
Sebagai
contoh adalah Matahari yang juga merupakan ciptaan Allah, maka adanya Matahari
itu dari yang sebelumnya tidak ada adalah aspek khalqu, kemudian Matahari itu salah satunya adalah berguna untuk
menerangi maka kegunaan untuk menerangi itu adalah aspek ja’ala, dan bentuk atau model wujud Matahari yang berupa bulatan
dari gumpalan gas itu adalah aspek bada-a,
sedangkan adanya hukum atau sistem yang bekerja di dalam tubuh Matahari diantaranya
berupa ledakan inti atom yang terjadi secara teratur dan lain-lain peristiwa
yang terjadi di dalamnya maka ini adalah aspek fathara, kemudian adalah tentang
hubungan antara Matahari dengan ciptaan Allah yang lain seperti bumi, planet-planet,
dll itu adalah aspek shana’a. Maka
dalam hal makhluk yang bernama Matahari itu, baik aspek kholqu, ja’ala, bada-a, fathara dan shana’a , semuanya itu adalah ciptaan Allah yang diciptakan dengan TAQDIR.
Sebagaimana
telah disebutkan di atas bahwa segala sesuatu itu diciptakan oleh Allah dengan
TAQDIR, dan sesuai dengan keterangan dalam Al-Qur’an ternyata dalam hal menetapkan
TAQDIR segala sesuatu itu Allah tidak semena-mena (tidak ngawur), tetapi
melakukanya dengan penuh perhitungan dan kecermatan yang ilmiyyah. Sebagaimana
tersebut di dalam salah satu ayat Al-qur’an yang menyebutkan bahwa asal dari
segala sesuatu itu adalah “khozain” dan
“khozain” itu adalah milik Allah
semata. Kemudian tatkala Allah hendak mencipta sesuatu maka Allah akan
menurunkan “khozain” milik Nya itu dengan
ukuran/takaran (qodar) yang cermat (ma’luum)
bÎ)ur
`ÏiB
>äóÓx«
wÎ)
$tRyYÏã
¼çmãYͬ!#tyz
$tBur
ÿ¼ã&è!Íit\çR
wÎ)
9ys)Î/
5Qqè=÷è¨B
ÇËÊÈ
dan tidak ada sesuatupun melainkan
pada sisi Kami-lah khazanahnya dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan
ukuran yang tertentu. (QS Al-hijr, 15:21)
(
“khozain” adalah istilah dalam Al-Qur’an
yang dalam hal ini cukup diketahui saja bahwa “khozain” itu milik Allah dan
“khozain” itu merupakan asal dari segala sesuatu yang diturunkan oleh Allah
pada setiap ciptaan Nya, atau dengan kata lain bahwa setiap ciptaan Allah
selalu mengandung “khozain” yang telah
ditetapkan oleh Allah dengan Taqdir yang cermat
berapa kadar “khozain” untuk setiap
ciptaanNya )
TAQDIR itu berkaitan
dengan ilmu Allah
ª!$#
Ï%©!$#
t,n=y{
yìö6y
;Nºuq»oÿx
z`ÏBur
ÇÚöF{$#
£`ßgn=÷WÏB
ãA¨t\tGt
âöDF{$#
£`åks]÷t/
(#þqçHs>÷ètFÏ9
¨br&
©!$#
4n?tã
Èe@ä.
&äóÓx«
ÖÏs%
¨br&ur
©!$#
ôs%
xÞ%tnr&
Èe@ä3Î/
>äóÓx«
$RHø>Ïã
ÇÊËÈ
Allah-lah yang menciptakan tujuh
langit dan seperti itu pula bumi. perintah Allah Berlaku padanya, agar kamu
mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan Sesungguhnya
Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu (QS At-tholaaq, 65:12)
Pada
penjelasan sebelumnya telah diuraikan bahwa segala sesuatu itu diciptakan oleh
Allah dengan TAQDIR, dan pada ayat di atas Al-Qur’an memberikan keterangan
bahwa segala sesuatu itu diliputi oleh Allah dengan ilmu. Jadi karena dalam
mencipta Allah tidak ngawur, bahkan Allah senantiasa meramu “khozain” miliknya dengan TAQDIR yang
ilmiyyah ( qodarin ma’luum ) tatkala
menciptakan segala sesuatu, maka Allah nyatakan bahwa pada setiap ciptaan Nya
itu sarat dengan perkara keilmuan. Oleh karena itu maka adanya TAQDIR dalam
setiap penciptaan mengisyaratkan adanya ILMU dalam setiap ciptaan. Maka dengan
demikian setiap ciptaan Allah itu bisa dipelajari, atau dalam bahasa Al-qur’an
mengandung petunjuk (hudan),
sebagaimana disebutkan dalam ayat sbb :
ËxÎm7y
zOó$#
y7În/u
n?ôãF{$#
ÇÊÈ Ï%©!$#
t,n=y{
3§q|¡sù
ÇËÈ Ï%©!$#ur
u£s%
3yygsù
ÇÌÈ
sucikanlah nama Tuhanmu yang Maha
Tingi, yang Menciptakan, dan menyempurnakan,
dan yang me-taqdir-kan (segala sesuatu) sehingga (sesuatu itu
mengandung) petunjuk (QS Al-A’laa 87:1-3)
Lebih lanjut Al-Qur’an memberikan
keterangan yang lebih jelas mengenai persoalan TAQDIR dan ILMU ini, sebagaimana disebutkan di
dalam ayat berikut:
uqèd
Ï%©!$#
@yèy_
[ôJ¤±9$#
[ä!$uÅÊ
tyJs)ø9$#ur
#YqçR
¼çnu£s%ur
tAÎ$oYtB
(#qßJn=÷ètFÏ9
yytã
tûüÏZÅb¡9$#
z>$|¡Åsø9$#ur
4
$tB
t,n=y{
ª!$#
Ï9ºs
wÎ)
Èd,ysø9$$Î/
4
ã@Å_Áxÿã
ÏM»tFy$#
5Qöqs)Ï9
tbqßJn=ôèt
ÇÎÈ
Dia-lah yang menjadikan matahari
bersinar dan bulan bercahaya dan di-taqdir-kan Nya manzilah-manzilah
(tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan
tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu
melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada
orang-orang yang mengetahui (QS Yunus, 10:5)
Dalam
ayat di atas disebutkan bahwa dengan adanya TAQDIR Allah pada peredaran
matahari dan bulan, maka manusia bisa mendapatkan petunjuk berupa ilmu untuk
mengetahui perhitungan waktu, tentunya setelah manusia mau mengamati dan
mempelajari peredaran matahari dan bulan. Dan karena keterbatasan manusia dalam
melakukan pengamatan ( belum seluruh aspek peredaran itu bisa diamati oleh
manusia ) maka tentu pengetahuan yang diperoleh manusia yang dikatakan oleh
manusia sebagai ilmu itu tidaklah selengkap dan sesempurna ilmu Allah yang meliputi
peredaran matahari dan bulan itu.
Dalam
ayat yang lainya disebutkan sbb :
cÎ)
Îû
È,ù=yz
ÏNºuq»yJ¡¡9$#
ÇÚöF{$#ur
É#»n=ÏF÷z$#ur
È@ø©9$#
Í$pk¨]9$#ur
;M»tUy
Í<'rT[{
É=»t6ø9F{$#
ÇÊÒÉÈ tûïÏ%©!$#
tbrãä.õt
©!$#
$VJ»uÏ%
#Yqãèè%ur
4n?tãur
öNÎgÎ/qãZã_
tbrã¤6xÿtGtur
Îû
È,ù=yz
ÏNºuq»uK¡¡9$#
ÇÚöF{$#ur
$uZ/u
$tB
|Mø)n=yz
#x»yd
WxÏÜ»t/
y7oY»ysö6ß
$oYÉ)sù
z>#xtã
Í$¨Z9$#
ÇÊÒÊÈ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit
dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil
berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah
Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami
dari siksa neraka. (QS Al-imron, 3:190-191)
Rujuk
pada ayat di atas, maka dengan adanya TAQDIR dalam setiap ciptaan Allah segala apa
yang ada di langit dan di bumi baik pada waktu siang ataupun malam semuanya itu
bisa menjadi bahan kajian untuk difikirkan oleh orang yang memiliki akal (ulul albaab) sehingga menjadi
pengetahuan bagi manusia.
Namun
demikian, meskipun seluruh ciptaan Allah itu senantiasa diciptakan dengan
TAQDIR dan diliputi dengan ILMU, lebih jauh Al-Qur’an mengingatkan adanya
batasan bagi manusia dalam hal kajian dan penelitian atas segala ciptaan Allah tersebut,
karena memang tidak semua hal bisa dipelajari atau boleh dipelajari oleh
manusia, seperti dalam permasalahan “RUH”.
Hal ini karena keterbatasan kemampuan pengetahuan yang diberikan oleh Allah
kepada manusia, sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur’an :
tRqè=t«ó¡our
Ç`tã
Çyr9$#
(
È@è%
ßyr9$#
ô`ÏB
ÌøBr&
În1u
!$tBur
OçFÏ?ré&
z`ÏiB
ÉOù=Ïèø9$#
wÎ)
WxÎ=s%
ÇÑÎÈ
Dan mereka bertanya kepadamu tentang
roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu
diberi pengetahuan melainkan sedikit".( QS Al-israa’, 17:85)
Demikian
juga pengetahuan tentang kapan saat terjadinya hari qiyamat, hal ini juga merupakan
persoalan yang tidak bisa dipelajari oleh manusia meskipun Allah juga telah
menciptakanya dengan TAQDIR dan meliputinya dengan ILMU.
y7tRqè=t«ó¡o
Ç`tã
Ïptã$¡¡9$#
tb$r&
$yg8yóßD
(
ö@è%
$yJ¯RÎ)
$ygãKù=Ïæ
yZÏã
În1u
(
w
$pkÏk=pgä
!$pkÉJø%uqÏ9
wÎ)
uqèd
4
ô
mereka menanyakan kepadamu tentang
kiamat: "Bilakah terjadinya?" Katakanlah: "Sesungguhnya
pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang
dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. (QS Al-a’raaf, 7:187)
Dari semua uraian di atas, bisa
difahami bahwa Al-Qur’an ternyata tidak memberikan wawasan mengenai TAQDIR sehingga
seolah persoalan TAQDIR itu adalah sesuatu yang gelap gulita, yang sulit dan tidak terjangkau akal dan tidak boleh
di apa-apakan oleh manusia, sehingga seolah manusia hanya disuruh untuk mengimaninya
dan menerima begitu saja dengan sikap sabar jika dirasa sebagai sesuatu yang
buruk atau syukur jika dirasa sebagai sesuatu yang baik. Tetapi ternyata persoalan
TAQDIR itu justru dijelaskan oleh AL-Qur’an sebagai sesuatu yang terang
benderang dan malahan Al-Qur’an mendorong manusia agar TAQDIR yang ada pada
setiap ciptaan Allah itu dipelajari sehingga manusia bisa mendapatkan pengetahuan
tentang segala sesuatu dari ciptaan Allah tersebut dan bisa dimanfaatkan bagi
kelangsungan hidupnya di dunia, meskipun Al-Qur’an juga memberikan
batasan-batasan terhadap apa-apa yang memang tidak perlu dipelajari oleh
manusia karena adanya keterbatasan pada diri manusia. Inilah kehebatan
Al-Qur’an dalam memberikan keterangan mengenai TAQDIR, jelas dan mudah.
Oleh karena itu, dengan mempelajari TAQDIR
dalam setiap ciptaan Allah, maka manusia akan bisa memahami mana TAQDIR yang bisa
menyebabkan kebaikan bagi dirinya dan kehidupanya, yang kadang lebih sering disebut dengan “TAQDIR
baik” (khoir) atau yang bisa menyebabkan
keburukan bagi dirinya dan kehidupanya, yang sering disebut dengan “TAQDIR buruk” (syarrun).
Takdir terkait dengan
Perbuatan Manusia
Di
dalam Al-qur’an disebutkan bahwa perbuatan ( ‘amal ) manusia adalah juga termasuk ciptaan Allah
ª!$#ur
ö/ä3s)n=s{
$tBur
tbqè=yJ÷ès?
ÇÒÏÈ
Padahal Allah-lah yang menciptakan
kamu dan apa yang kamu perbuat itu (QS Ash-shoffaat 37:96)
Sebagaimana
penjelasan sebelumnya, karena perbuatan ( ‘amal
) manusia itu diciptakan oleh Allah, maka tentu diciptakan dengan TAQDIR
dan juga diliputi dengan ILMU. Dengan demikian maka setiap perbuatan (‘amal ) manusia itu tentu bisa dipelajari
sebagai suatu petunjuk. Tentu dengan segala keterbatasan kemampuan manusia
dalam mengamati dan mengambil kesimpulan terhadap persoalan perbuatan ( ‘amal ) ini.
Di
dalam Al-qur’an, bahkan Allah memerintahkan kepada manusia agar melakukan
pengamatan (intidhor) untuk
mengetahui seluk beluk perbuatan (‘amal )
yang telah dilakukan oleh orang-orang terdahulu, agar manusia bisa mengambil
pelajaran. Hal ini disebutkan di dalam ayat Al-Qur’an sbb :
3 óOn=sùr&
(#rçÅ¡o
Îû
ÇÚöF{$#
(#rãÝàZusù
y#øx.
c%x.
èpt7É)»tã
tûïÏ%©!$#
`ÏB
óOÎgÏ=ö7s%
3
â
Maka tidakkah mereka bepergian di muka
bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (QS Yusuf,
12:109)
ö@è%
(#rçÅ
Îû
ÇÚöF{$#
¢OèO
(#rãÝàR$#
y#ø2
c%x.
èpt6É)»tã
tûüÎ/Éjs3ßJø9$#
ÇÊÊÈ
Katakanlah: "Berjalanlah di muka
bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan
itu." (QS Al-an’am, 6:11)
Perbuatan
manusia, jika dicermati sesungguhnya setiap perbuatan itu tidaklah berdiri
sendiri, namun senantiasa diawali dengan “kehendak” (irodah) yang kemudian terwujud sebagai “niyat”. Hal ini sebagaimana hadits Rasulullah sbb :
إنماالاعــــــمال
بالنــيات
Sesungguhnya perbuatan (amal) itu
dengan niyat (HR. Imam Bukhori)
Dalam
hal “irodah” yang kemudian akan terwujud
dalam bentuk “niyat” inilah Allah
memberikan ruang bagi manusia untuk menentukan pilihan, sebagaimana di dalam lanjutan
matan hadits di atas yang menyebutkan bahwa diantara pengikut Rasulullah yang
berhijrah dari Makkah ke Madinah itu ternyata bermacam-macam niyat nya, ada
yang memang berniyat untuk Allah dan RasulNya (lillaahi warasuulih), ada
yang berniyat untuk dunianya (liddunya ), dan ada pula yang berniyat untuk
menikahi wanita, maka “niyat” yang terwujud pada diri manusia itu bukanlah
Allah yang mentukan, meskipun adanya “irodah”
yang kemudian terwujud menjadi “niyat”
dalam diri manusia itu adalah ciptaan Allah yang tentunya juga diciptakan Allah
dengan TAQDIR.
Memang
tidak setiap sesuatu yang terkait dengan urusan manusia itu lalu serta merta
menjadi pilihan yang bisa ditentukan oleh manusia sendiri. Sebagai contoh
adalah berkurangnya kemampuan tubuh manusia untuk beraktifitas seiring dengan
bertambahnya umur, maka keadaan tubuh manusia yang seperti itu bukan merupakan
ruang pilihan bagi manusia. Namun begitu juga bukan tidak mungkin manusia
melakukan pengamatan dan mempelajari TAQDIR Allah yang berlaku pada tubuh
manusia, karena Allah meciptakan tubuh manusia itu juga dengan TAQDIR yang
ilmiyyah ( qodarin ma’luum ) sehingga
bisa dipelajari dan diketahui petunjuk tentang bagaimana menjaga kemampuan
tubuh agar tetap bisa beraktifitas dengan optimal meskipun umur terus
bertambah.
Lebih
jelasnya mengenai persoalan adanya ruang pilihan bagi manusia berupa “irodah” manusia yang terwujud dalam “niyat” ini, Al-qur’an memberikan
keterangan sbb :
uötósùr&
Ç`Ï
«!$#
cqäóö7t
ÿ¼ã&s!ur
zNn=ór&
`tB
Îû
ÏNºuq»yJ¡¡9$#
ÄßöF{$#ur
$YãöqsÛ
$\dö2ur
Ïmøs9Î)ur
cqãèy_öã
ÇÑÌÈ
Maka Apakah mereka mencari agama yang
lain dari agama Allah, Padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang
di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada
Allahlah mereka dikembalikan. (QS Al-Imron, 3:83)
Kata
“aslama” dalam ayat di atas
menunjukkan bahwa segala apa yang ada langit dan di bumi telah dicipta oleh
Allah dengan TAQDIR dalam seluruh aspek penciptaanya, yaitu aspek keberadaanya
(kholqu), fungsinya/kegunaannya (ja’ala), model/bentuknya (bada-a), sistem/hukumnya (fathara) dan hubunganya dengan ciptaan Allah
lainya (shana’a) itu semua suka tidak
suka, mau tidak mau memang harus diterima oleh makhluk yang dalam ayat di atas
disebut dengan istilah “thau’an wa
karhan”. Jadi dalam hal TAQDIR penciptaan dengan seluruh aspek penciptaan
itu maka seluruh makhluk hanya bisa pasrah, tunduk, menyerah ( aslama ) kepada penetapan TAQDIR, dan hanya
kepada Allah lah TAQDIR dalam seluruh aspek penciptaan makhluk itu
dikembalikan. Maksudnya adalah bahwa yang bisa menentukan TAQDIR dalam
penciptaan itu hanyalah Allah. Tetapi dalam hal “dien” (agama), Allah memberikan ruang kepada manusia untuk
menentukan pilihan masing-masing yang merupakan “kehendak” (irodah) manusia yang terwujud dalam “niyat”, apakah manusia akan memilih “dienullah” atau yang selain “dienullah”. Di dalam ayat yang lain Al-Qur’an menjelasakan
bahwa manusia tidak dipaksa dalam hal menentukan pilihan terhadap “dien” itu.
Iw
on#tø.Î)
Îû
ÈûïÏe$!$#
(
Tidak ada paksaan dalam (memilih)
agama ( QS Al-baqoroh, 2:256)
Lebih
lanjut mengenai hal ini, ternyata ruang pilihan bagi manusia ini juga berlaku dalam
permasalahan “iman”, sebagaimana
disebutkan dalam Al-Qur’an sbb :
öqs9ur
uä!$x©
y7/u
z`tBUy
`tB
Îû
ÇÚöF{$#
öNßg=à2
$·èÏHsd
4
|MRr'sùr&
çnÌõ3è?
}¨$¨Z9$#
4Ó®Lym
(#qçRqä3t
úüÏZÏB÷sãB
ÇÒÒÈ
dan Jikalau Tuhanmu menghendaki,
tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu
(hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman
semuanya ? (QS Yunus, 10:99)
È@è%ur
,ysø9$#
`ÏB
óOä3În/§
(
`yJsù
uä!$x©
`ÏB÷sãù=sù
ÆtBur
uä!$x©
öàÿõ3uù=sù
4
dan Katakanlah: "Kebenaran itu
datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia
beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir" (QS Kahfi,
18:29)
Jadi
rujuk pada penjelasan Al-Qur’an, maka bisa difahami dengan mudah bahwa ternyata
manusia itu diberi oleh Allah ruang pilihan dalam dirinya untuk menentukan
pilihan masing-masing dalam hal “dien” dan
“iman” , dengan kata lain manusia itu
mempunyai “irodah” yang terwujud dalam
“niyat” untuk menetapkan pilihan atas
persoalan “dien” dan “iman” . Dan karena penerapan atau implementasi
atas pilihan terhadap “dien” dan “iman” itu adalah dalam aspek perbuatan (amaliyah),
baik amal yang kasad mata ataupun amal
yang tak kasad mata, maka terhadap bentuk amal manusia itu Allah bisa mengenali
mana bentuk amal yang berada di atas jalan Nya dan yang tidak berada di atas
jalan Nya.
ö@è%
@@à2
ã@yJ÷èt
4n?tã
¾ÏmÏFn=Ï.$x©
öNä3/tsù
ãNn=÷ær&
ô`yJÎ/
uqèd
3y÷dr&
WxÎ6y
ÇÑÍÈ
Katakanlah:
"Tiap-tiap (perbuatan) yang diperbuat ( manusia ) itu menurut
keadaannya masing-masing". Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih
benar jalanNya. (QS AL-Isra’, 17:84)
Kata
“syaakilat” adalah jama’ (plural )
dari kata “syaklun” yang dalam bahasa
arab berarti “bentuk”. Jadi maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan manusia itu
ada bentuk nya. Dan bentuk dari amal manusia itu bergantung pada “irodah” manusia yang terwujud dalam “niyat” terhadap permasalahan “dien”, dan “iman”. Hal inilah yang menjelaskan mengapa Allah memerintahkan
manusia untuk melakukan pengamatan (intidhor)
terhadap amaliyah orang-orang
terdahulu dan memperhatikan bentuk serta akibat dari amaliyah yang benar sesuai dengan petunjuk Allah dan amaliyah yang menyimpang dari petunjuk
Allah, sehingga manusia bisa memperoleh pengetahuan dan bisa menentukan pilihan
yang baik bagi dirinya.
Allah
memang tidak membiarkan manusia begitu saja dengan diberinya ruang pilihan
tersebut, namun agar bisa melakukan pengamatan dan kemudian menentukan pilihan,
maka manusia diberikan oleh Allah alat berupa pendengaran, penglihatan, dan fuad sebagaimana diterangkan di dalam
Al-Qur’an sbb :
ª!$#ur
Nä3y_t÷zr&
.`ÏiB
ÈbqäÜç/
öNä3ÏF»yg¨Bé&
w
cqßJn=÷ès?
$\«øx©
@yèy_ur
ãNä3s9
yìôJ¡¡9$#
t»|Áö/F{$#ur
noyÏ«øùF{$#ur
öNä3ª=yès9
crãä3ô±s?
ÇÐÑÈ
dan Allah mengeluarkan kamu dari perut
ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu
pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. (QS An-Nahl, 16:78)
Dalam
ayat di atas digunakan kata “ja’ala” yang
merupakan aspek dalam penciptaan Allah, sehingga pendengaran, penglihatan, dan fuad itu tentunya adalah juga diciptakan
oleh Allah dengan TAQDIR yang ilmiyyah ( qodarin
ma’luum ) sehingga manusia juga bisa mempelajarinya guna mendapatkan
pengetahuan dan petunjuk tentang alat tersebut. Di dalam ayat yang lain
disebutkan tentang alat itu sbb :
¢OèO
çm1§qy
yxÿtRur
ÏmÏù
`ÏB
¾ÏmÏmr
(
@yèy_ur
ãNä3s9
yìôJ¡¡9$#
t»|Áö/F{$#ur
noyÏ«øùF{$#ur
4
WxÎ=s%
$¨B
crãà6ô±n@
ÇÒÈ
kemudian Dia menyempurnakan dan
meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu
pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur (QS
As-Sajdah, 32:9)
Selain
diberi alat berupa pendengaran, penglihatan, dan fuad oleh Allah, ternyata Allah juga memberikan petunjuk ( hudan ) agar manusia mempunyai rujukan dalam
cara menggunakan alat ciptaan Allah tersebut dan dalam menentukan pilihan dalam
ruang “irodah” yang terwujud dalam “niyat” yang telah diberikan oleh Allah
kepada manusia.
$¯RÎ)
çm»uZ÷yyd
@Î6¡¡9$#
$¨BÎ)
#[Ï.$x©
$¨BÎ)ur
#·qàÿx.
ÇÌÈ
Sesungguhnya Kami telah menunjukinya(
memberi petunjuk) kepada jalan yang
lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. (QS Al-Insaan, 76:3)
Dan
dalam penjelasan yang lain Al-Qur’an menyebutkan bahwa petunjuk “hudan” dari Allah itu juga diturunkan
oleh Allah dengan ILMU, bukan dengan semena-mena (ngawur). Tentu hal ini adalah
agar petunjuk itu bisa dipelajari dan difahami oleh manusia sebagaimana dengan TAQDIR yang ilmiyyah dalam setiap ciptaan
Allah sehingga manusia bisa mempelajarinya agar mendapatkan pengetahuan.
Ç`Å3»©9
ª!$#
ßpkô¶t
!$yJÎ/
tAtRr&
øs9Î)
(
¼ã&s!tRr&
¾ÏmÏJù=ÏèÎ/
(
èps3Í´¯»n=yJø9$#ur
tbrßygô±o
4
4s"x.ur
«!$$Î/
#´Íky
ÇÊÏÏÈ
Akan tetapi Allah mengakui Al Quran
yang diturunkan-Nya kepadamu (bahwa) Allah menurunkannya dengan ilmu-Nya; dan
malaikat-malaikat pun menjadi saksi (pula). cukuplah Allah yang mengakuinya.
(QS An-Nisaa’, 4:166)
Dengan
diciptakanya oleh Allah pendengaran, penglihatan dan fuad bagi manusia dan kemudian Allah turunkan petunjuk Nya kepada
manusia, maka hal inilah yang dimaksud bahwa Allah telah menciptakan manusia
sebagai “ahsani taqwiim”
ôs)s9
$uZø)n=y{
z`»|¡SM}$#
þÎû
Ç`|¡ômr&
5OÈqø)s?
ÇÍÈ
Sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya .(QS At-thien, 95:4)
Namun
demikian, jika manusia tidak mau menggunakan alat yang telah Allah ciptakan
bagi dirinya dan juga tidak mau menggunakan petunjuk Allah yang juga telah
diturunkan bagi manusia, maka derajat manusia itu akan jatuh menjadi “asfala saafiliin” dan akan menjadi lebih
hina dibandingkan binatang.
¢OèO
çm»tR÷yu
@xÿór&
tû,Î#Ïÿ»y
ÇÎÈ
kemudian Kami kembalikan dia (manusia)
ke tempat yang serendah-rendahnya (QS At-thien, 95:5)
ôs)s9ur
$tRù&us
zO¨YygyfÏ9
#ZÏW2
ÆÏiB
Çd`Ågø:$#
ħRM}$#ur
(
öNçlm;
Ò>qè=è%
w
cqßgs)øÿt
$pkÍ5
öNçlm;ur
×ûãüôãr&
w
tbrçÅÇö7ã
$pkÍ5
öNçlm;ur
×b#s#uä
w
tbqãèuKó¡o
!$pkÍ5
4
y7Í´¯»s9'ré&
ÉO»yè÷RF{$%x.
ö@t/
öNèd
@|Êr&
4
y7Í´¯»s9'ré&
ãNèd
cqè=Ïÿ»tóø9$#
ÇÊÐÒÈ
dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk
(isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati,
tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka
mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda
kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan
mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai. (QS Al-A’raaf,
7:179)
( dalam ayat ini
Al-qur’an menggunakan istilah “quluubun” yang merupakan bentuk jama’ dari kata
“qolb” yang dalam bahasa arab mempunyai
padanan makna dengan “fuad” ataudalam bentuk jama’ adalah “af-idah”,
atau dengan kata lai, “qolb” adalah dzatnya, sedangkan “fuad” adalah
kegunaan atau fungsi atau kinerja daripada “qolb” )
Oleh
karena itu, dengan diberikanya ruang “irodah”
yang kemudian terwujud dalam “niyat” bagi manusia, dan kemudian diciptakan oleh
Allah alat bagi manusia berupa pendengaran, penglihatan, dan fuad ( atau juga disebut dengan qolb ) serta diberikan juga petunjuk ( hudan ) yang diturunkan oleh Allah
dengan ilmu Nya, maka sebagai bentuk konsekuensi, manusia akan dimintai
pertanggungan jawab oleh Allah atas “irodah”
yang ada ada dirinya tsb.
¼çm¯RÎ)ur
Öø.Ï%s!
y7©9
y7ÏBöqs)Ï9ur
(
t$ôqyur
tbqè=t«ó¡è?
ÇÍÍÈ
dan Sesungguhnya Al Quran itu
benar-benar adalah suatu kemuliaan besar bagimu dan bagi kaummu dan kelak kamu
akan diminta pertanggungan jawab. (QS Az-zukruf, 43:44)
wur
ß#ø)s?
$tB
}§øs9
y7s9
¾ÏmÎ/
íOù=Ïæ
4
¨bÎ)
yìôJ¡¡9$#
u|Çt7ø9$#ur
y#xsàÿø9$#ur
@ä.
y7Í´¯»s9'ré&
tb%x.
çm÷Ytã
Zwqä«ó¡tB
ÇÌÏÈ
dan janganlah kamu mengikuti apa yang
kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.
(QS AL-Isra’, 17:36)
Jadi
TAQDIR ada pada segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah, termasuk juga TAQDIR
dalam perbuatan manusia yang juga adalah ciptaan Allah. Seluruh TAQDIR itu bisa
dipelajari oleh manusia termasuk TQDIR dalam perbuatan manusia, sehingga dengan
demikian manusia bisa mendapatkan pengetahuan mana TAQDIR yang baik dan mana TAQDIR
yang buruk. Dan manusia diberikan “irodah”
oleh Allah untuk menentukan pilihanya yang terwujud dalam “niyat”. Dan ingat bahwa “irodah” pemberian Allah ini HANYA UNTUK
MEMILIH SAJA, karena setelah manusia menentukan pilihannya maka seluruh proses
yang terjadi selanjutnya sebagai bentuk konsekuensi dari pilihan tersebut kesemuanya
adalah TAQDIR Allah, entah itu menjadi sesuatu yang baik bagi dirinya atau
menjadi sesuatu yang buruk. Hal inilah yang disitir dalam salah satu hadits
Rasulullah sbb :
نيــة
المؤمــــن خيرمن عـــمله
Niyat seorang mukmin itu lebih
(penting) baik daripada perbuatanya (HR. AL-Baihaqi dan Ar-Rabii)
Karena
“niyat” itulah yang merupakan ejawantah/wujud
dari “irodah” manusia dan yang akan
mempengaruhi bentuk perbuatan manusia yang kelak akan dimintai pertanggungan
jawab oleh Allah.
Mengenai
“irodah” manusia yang terwujud dalam
“niyat”, maka sesungguhnya setiap
saat secara berkesinambungan sepanjang manusia melakukan suatu bentuk perbuatan
(amaliyah) dalam hidupnya, manusia harus
selalu menetapkan “irodah” yang terwujud
dalam “niyat”. Jadi proses
berwujudnya perbuatan manusia itu adalah merupakan rangkaian siklus yang
berkesinambungan dan terus menerus antara pilihan dalam ruang “irodah” yang kemudian terwujud dalam “niyat” dan selanjutnya diikuti dengan bentuk
amal berupa gerakan tubuh atau ucapan. Begitu seterusnya.
Oleh
karena itu, meskipun sesungguhnya perbuatan manusia itu adalah ciptaan Allah,
tetapi karena bentuk perbuatan itu adalah bergantung pada pilihan “irodah” manusia yang terwujud dalam “niyat”, maka tepatlah jikalau kemudian
Allah akan meminta pertanggungan jawab atas apa yang diperbuat oleh manusia.
dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu
satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang menghendaki dan memberi
petunjuk kepada siapa yang menghendaki. dan Sesungguhnya kamu akan ditanya
tentang apa yang telah kamu kerjakan. (QS An-Nahl, 16:93)
Sebagai
ilustrasi dari penjelasan mengenai TAQDIR seperti dalam uraian di atas,
Al-Qur’an memberikan penjelasan sbb :
أَيۡنَمَا تَكُونُواْ يُدۡرِككُّمُ ٱلۡمَوۡتُ وَلَوۡ كُنتُمۡ فِى بُرُوجٍ۬ مُّشَيَّدَةٍ۬ۗ وَإِن تُصِبۡهُمۡ حَسَنَةٌ۬ يَقُولُواْ هَـٰذِهِۦ مِنۡ عِندِ ٱللَّهِۖ وَإِن تُصِبۡهُمۡ سَيِّئَةٌ۬ يَقُولُواْ هَـٰذِهِۦ مِنۡ عِندِكَۚ قُلۡ كُلٌّ۬ مِّنۡ عِندِ ٱللَّهِۖ فَمَالِ هَـٰٓؤُلَآءِ ٱلۡقَوۡمِ لَا يَكَادُونَ يَفۡقَهُونَ حَدِيثً۬ا (٧٨) مَّآ أَصَابَكَ مِنۡ حَسَنَةٍ۬ فَمِنَ ٱللَّهِۖ وَمَآ أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ۬ فَمِن نَّفۡسِكَۚ وَأَرۡسَلۡنَـٰكَ لِلنَّاسِ رَسُولاً۬ۚ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ شَہِيدً۬ا (٧٩)
di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu,
Kendatipun kamu di dalam benteng yang Tinggi lagi kokoh, dan jika mereka
memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah",
dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: "Ini
(datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)". Katakanlah: "Semuanya
(datang) dari sisi Allah". Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik)
Hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?
79. apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah,
dan apa saja bencana yang menimpamu, Maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami
mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. dan cukuplah Allah menjadi
saksi. (QS An-Nisaa, 4:78-79)
Dalam ayat 78 surat An-Nisaa di atas,
Al-Qur’an menyebutkan bahwa setiap
“kebaikan” (hasanah) dan
“bencana” (sayyiah) yang menimpa
kepada manusia adalah kepunyaan Allah ( min
‘indillah ). Hal ini tentu benar karena segala apa yang ada dan terjadi di
alam semesta ini adalah ciptaan Allah yang diciptakan dengan TAQDIR, yang
karena itu tentunya bisa dipelajari oleh manusia untuk mendapatkan pengetahuan
sepanjang ciptaan Allah itu memang boleh dan bisa dipelajari oleh manusia, dan
sepanjang manusia mampu untuk menggali TAQDIR dalam ciptaan Allah itu. Oleh
karenanya maka setiap “kebaikan” (hasanah)
dan “bencana” (sayyiah) yang terjadi
bisa dipelajari oleh manusia, dan bahkan hal ini diperintahkan oleh Allah untuk
mengamatinya (intidhor).
Sedangkan dalam ayat ke 79, Allah
menerangkan tentang penyebab atau jalan yang membawa manusia kepada suatu
keadaan yang berupa “kebaikan” (hasanah)
dan “bencana” (sayyiah). Ketika
manusia senantiasa menetapkan “irodah” yang
benar dalam setiap tahapan proses yang dilaluinya, maka seluruh kebenaran yang
menjadi pengetahuan bagi manusia yang dijadikan rujukan dalam setiap kali
menetapkan “irodah” nya, maka semua
kebenaran itu adalah milik Allah. (misalnya seperti “dien” yang benar adalah “dien” milik Allah, “iman” yang benar adalah “iman”
yang aturanya dimiliki & dibuat oleh Allah, dst). Sedangkan ketika
manusia keliru dalam merumuskan apa yang mereka pelajari dari TAQDIR yang ada
dalam setiap ciptaan Allah karena adanya keterbatasan dalam dirinya yang memang
diciptakan demikian oleh Allah (QS 4:28, QS 33:72), lalu rumusan yang keliru
itu mereka jadikan rujukan setiap kali menetapkan “irodah” nya dan mereka menolak mengikuti “Petunjuk (hudan)” yang telah Allah turunkan dengan
ILMU-Nya dan justru menjadikan hal yang datang dari selain Allah sebagai
petunjuk yang tentu saja keliru, maka tentu semua kekeliruan itu bukanlah dari
Allah, tetapi dari manusia itu sendiri.
Maka tepatlah ketika Al-Qur’an mengatakan sbb :
وَمَآ أَصَـٰبَڪُم مِّن مُّصِيبَةٍ۬ فَبِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِيكُمۡ وَيَعۡفُواْ عَن كَثِيرٍ۬
dan apa saja musibah yang menimpa kamu
Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan
sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu) (QS Asy-syuura, 42:30)
Wallaahu a’lam bi ash-showaab….…