Rabu, 27 Februari 2013

NGAJI QS Az-Zumar : 42

Di dalam al-qur’an surat Az-Zumar : 42, yang sering dijadikan pijakan dalam membahas perkara “kemungkinan” menemui ruh orang yang sudah meninggal, jika diperhatikan dengan seksama terhadap makna dari kata-kata yang digunakan di dalam ayat tersebut, ternyata akan diperoleh “wawasan” ttg masalah wafat dan maut yang “menarik”. Berikut ini nukilan ayat tsb dan terjemahan yang ada pada umumnya:



الله يتوفى الأنفس حين موتها والتي لم تمت في منامها فيمسك التي قضى عليها الموت ويرسل الأخرى إلى أجل مسمى إن في ذلك لآيات لقوم يتفكرون



Terjemahan yg umumnya ada adalah :

42. Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; Maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan[1313]. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda- tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.

[1313] Maksudnya: orang-orang yang mati itu rohnya ditahan Allah sehingga tidak dapat kembali kepada tubuhnya; dan orang-orang yang tidak mati hanya tidur saja, rohnya dilepaskan sehingga dapat kembali kepadanya lagi.


Jika dicermati, kata  “yatawaffa” dalam ayat tsb dalam bahasa arab mempunyai makna :  sampai, memenuhi/terpenuhinya (suatu yg sudah disepakati, dijanjikan, ditetapkan, diatur, sebelumnya). Dalam terjemah yang umum, kata “yatawaffa” dlm ayat tsb diartikan dengan makna “dipegang”, dan ketika difahami dalam kontek bahasa Indonesia akan membawa pemahaman tentang keadaan suatu (seperti : tangan atau alat lainya) yang memegang “sesuatu” sehingga “sesuatu” itu tidak bisa lagi berpindah, atau bergerak bebas, atau menjadi terkungkung diam. Keadaan yang dialami oleh “sesuatu” yang dipegang sehingga tidak bisa lagi berpindah, atau bergerak bebas, atau menjadi terkungkung diam inilah  yang dimaksud dengan pengunaan kata “yatawaffa”, jadi bukan pada perkara bentuk/cara terpegangnya yang menjadi maksud dari kata “yatawaffa”, tetapi adalah “keadaan” ketika terpegang.

Sedangkan  kata  “maut” dalam bahasa arab mempunyai makna  :  diambil kembali,  (bisa dengan cara) dicabut, ditarik, dll

Dengan mengikuti makna kata  “yatawaffa”  dan  “maut”  dalam bahasa arab tsb, kemudian dikaitkan dengan  persoalan RUH yang ditiupkan oleh kpd manusia saat akan dilahirkan ke dunia  (QS As-sajdah  32:9) dan tentang adanya ketetapan AJAL  bagi manusia yang dilahirkan ke dunia  (QS Al-an’am  6:2). Maka bisa difahami bahwa  “sampai”  nya manusia pada suatu “keadaan” sebagaimana ketetapan AJAL nya di dunia tsb yang menjadi bentuk “pemenuhan” dari rencana/janji Allah terkait ketetapan AJAL bagi manusia dari sejak semula diciptakan, keadaan ini disebut dengan istilah “wafat”, yaitu sampainya/terpenuhinya kepada AJAL. Dan ketika sudah “wafat”, sampai kepada AJAL, maka Allah “mengambil kembali” RUH dari manusia dengan cara “mencabut” nya, dan inilah yang disebut dengan  “maut

Kembali pada ayat QS Az-zumar 39:42 di atas, maka ayat tersebut memberikan informasi bahwa Allah “menyampaikan”( yatawaffa ) NAFS pada suatu keadaan yg dikehendaki Allah, yaitu dalam dua keadaan :

  1. Keadaan MAUT (tercabutnya RUH krn sudah sampainya AJAL sebagaimana ketetapan Allah), dan
  2. Keadaan NAUM (tidur, bukan disebut dengan MAUT krn tidak ada RUH yang dicabut)


lalu selanjutnya disebutkan bahwa Allah menahan ( “yumsik” ) NAFS tetap pada keadaan MAUT, dan mengembalikan keadaan NAFS dari keadaan NAUM kepada keadaan sebelumnya ( terjaga, bangun ).

Maka dengan demikian ayat ini TIDAK bisa digunakan sebagai dalil untuk  MENYAMAKAN keadaan NAFS yang MAUT (mati) dengan keadaan NAFS yang NAUM (tidur), karena NAFS yang MAUT itu RUH nya sudah tidak ada ( diambil kembali, dicabut ) sehingga sudah tidak memiliki RUH. Sedangkan NAFS yang dalam keadaan NAUM masih tetap memiliki RUH. Meskipun ketika masih dalam keadaan NAUM, Allah sama-sama MENAHAN ( “yumsik” ) keadaan NAFS yang telah MAUT maupun keadaan NAFS yang sedang NAUM (perhatikan dengan cermat kalimah dalam ayat QS 39:42, “allaahu yatawaffa Al-ANFUSA”).

Jadi yang sedang sama-sama ditahan (yatawaffa) oleh Allah adalah NAFS nya ( dalam bentuk jamak, “anfus” ), dan BUKAN sedang menahan RUH nya.

Dengan demikian menjadi kurang tepat ketika merujuk pada ayat QS 39:42 tersebut dan memahaminya sebagai dalil tentang adanya “peluang” RUH orang yang MATI dengan RUH orang yang masih HIDUP untuk saling bertemu & berkomunikasi menceritakan pengalaman masing2 dan menyampaikan segala hal tentang masa yang lalu atau masa yang akan datang.  


Wallaahu ta’aala a’lam….

Selasa, 26 Februari 2013

Larangan Cara Sujud Seperti UNTA


Oleh : Ahmad Nasyith

Adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a yang menyebutkan bahwa Rasulullah telah bersabda : ‘Jika salah seorang dari kamu hendak sujud, maka janganlah menyungkur seperti menyungkurnya unta untuk duduk, hendaklah ia meletakkan kedua tangannya terlebih dulu sebelum kedua lututnya’,”(Shahih, HR Bukhari dalam at-Taariikhul Kabiir [I/139], Abu Dawud [840], an-Nasa’i [II/207], Ahmad [II/381], al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah[643], ad-Darimi [I/303], ad-Daraquthni [I/345], ath-Thahawi dalamSyarah Musykilul Aatsaar [182], al-Baihaqi [II/99-100]).

Perkataan Rasulullah berupa larangan menyerupai unta ketika menyungkur untuk duduk, ternyata menjadi perdebatan dikalangan ulama, dalam memahami larangan menyerupai unta tersebut, sehingga sampai ada pendapat yang menyatakan bahwa matan hadits tersebut bertentangan antara kalimat yang awal dengan yang akhir, sebagaimana perkataan Atthahawi, sbb :

Ath-Thahawi berkata dalam Musykilul Aatsaar (II/168-169), “Ada yang berkata, ‘Ini adalah perkataan yang mustahil, karena beliau melarang menyungkur sujud  seperti  menyungkurnya unta. Unta justru menyungkur dengan meletakkan kedua tangannya sebelum meletakkan kedua lututnya.’ Apa yang dilarang di awal haditsjustru diperintahkan di akhir hadits.

Sampai dengan saat sekarang pun ternyata pedebatan tentang hal ini masih terjadi, dan masalah pokok dalam perdebatan adalah tantang memahami manakah yang dimaksud dengan lutut unta dan manakah yang dimaksud dengan tangan unta. Ada yang berpendapat bahwa jika ketika menyungkur untuk sujud itu dengan mendahulukan dua tangan menapak di lantai baru kemudian menapakkan lutut, maka justru hal ini menyerupai unta karena dua kaki unta yang di depan difahami sebagai tangan. Sebaliknya pendapat yang lain menyebutkan bahwa jika mendahulukan dua tangan untuk menapak ke lantai baru kemudian menapakkan dua lutut, maka hal ini justru tidak menyerupai unta, karena lutut unta berada di kedua kaki depan unta, bukan terletak di kedua kaki belakang unta.

Jika diperhatikan dengan kaidah secara umum, maka unta adalah termasuk binatang berkaki empat yang tidak memiliki tangan. Jika ada yang menganggap bahwa dua diantara ke empat kaki unta itu sebanarnya adalah tangan unta, maka pendapat seperti ini bukan merupakan pendapat yang umum, bahkan bisa saja dinilai cenderung condong kepada teori evolusi darwin yang di dalam hasanah keilmuan islam, teori evolusi darwin ini masih bermasalah dan bahkan dinilai bertentangan dengan petunjuk Al-qur’an tentang teori penciptaan manusia dan binatang.


Jadi akan lebih hati-hati dan insyallah akan lebih mudah difahami dengan pemahaman yang umum ( common sense ) bahwa unta itu memiliki empat kaki (dua kaki depan dan dua kaki belakang) dan tidak memiliki tangan.

Dari pembagian ke empat kaki unta menjadi 2 kaki depan dan 2 kaki belakang ( lihat gambar-1 di atas ) maka insya Allah tidak ada pertentangan dalam hal ini. Sehingga kembali pada persoalan matan dalam hadits riwayat Abu Hurairoh di atas, maka yang dimaksud dengan larangan “menyerupai” dengan binatang unta tentunya bukan pada persoalan tangan, karena unta tidak memilik tangan, jadi maksud larangan “menyerupai” unta dalam hal ini adalah larangan “menyerupai” dalam hal cara menggerakkan kaki. Perhatikan gambar di bawah ini :



Pada saat kaki unta bergerak untuk menyungkur, maka 2 kaki depan unta seperti terlihat pada gambar-A 
di atas tentu lebih menyerupai posisi kaki manusia ketika bergerak untuk menyungkur, sedangkan gambar-B menunjukkan posisi 2 kaki belakang unta yang jelas tidak mungkin bisa ditiru/disamakan dengan posisi gerakan kaki manusia (perhatikan kaki belakang unta dengan 2 buah tekukan sendi yang tentunya tidak mungkin terjadi pada kaki/tangan manusia).


Jadi larangan “menyerupai” gerakan unta ketika hendak duduk adalah larangan menggerakkan (memposisikan) kaki sebagaimana gerakan 2 kaki bagian depan dari unta dengan gerakan yang menumpu hanya pada ke dua lutut kaki depan nya  (perhatikan gambar-B, bahwa lutut unta juga terdapat pada ke 2 kaki belakang nya, malahan ada 2 lutut pada setiap kaki belakang unta, yang jelas tidak terdapat pada kaki manusia yang hanya memiliki satu lutut pada setiap kakinya). Jadi bukan larangan “menyerupai” posisi tubuh unta dengan ke empat kakinya ketika bergerak untuk duduk, sebagaimana ditunjukkan pada gambar-C, dengan menganggap 2 kaki depan unta sebagai tangan kita dan 2 kaki belakang sebagai kaki kita.
               

Karena posisi kaki depan dan kaki belakang unta ketika sedang berdiri dan ketika menyungkur akan tetap bertumpu pada ke empat kakinya, hanya saja cara unta menggerakkan 2 kaki depanya lebih mirip dengan cara manusia menggerakkan kakinya ketika hendak menyungkur, dan kesamaan cara inilah yang menjadi larangan dari Rasulullah.

Maka tepat sekali sabda Rasulullah di dalam matan hadits riwayat Abu Hurairoh di atas pada kalimat ke dua, yaitu  “hendaklah ia meletakkan kedua tangannya terlebih dulu sebelum kedua lututnya”, karena dengan meletakkan/menapakkan ke dua tangan kita ke lantai sebelum ke dua lutut kaki, maka tumpuan berat badan akan berada pada dua telapak tangan, bukan pada ke dua lutut. Sehingga dengan demikian menjadi berbeda dengan gerakan ke 2 kaki depan unta yang menumpukan berat badannya pada ke 2 lutut kaki depan sesaat sebelum menyungkur. Dan gerakan dengan mendahulukan tumpuan pada ke dua telapak tangan ketika hendak menyungkur, baru kemudian menapakkan ke dua lutut ke lantai tentu tidak akan pernah bisa dilakukan seekor unta, karena unta tidak memiliki tangan. Tetapi sebaliknya jika tatkala hendak menyungkur lebih mendahulukan gerakan lutut untuk menapak ke lantai baru kemudian menyusul ke dua telapak tangan untuk menapak ke lantai, maka posisi ketika ke dua lutut sudah menapak kelantai sedangkan ke dua telapak tangan belum menapak kelantai, pada keadaan itulah akan mirip dengan gerakan ke dua kaki depan unta ketika hendak menyungkur. Dan inilah yang menjadi larangan Rasulullah sebagaimana tersebut dalam hadits riwayat Abu Hurairoh di atas.

Semoga menjadi tambahan wawasan dalam mendalami gerakan tubuh dalam pelaksanaan sholat. 
Wallaahu a’lam bishowaab…..